BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Seperti yang kita tahu bahwa Sutardji adalah salah satu penyair kontemporer yang mengembalikan kata kepada fungsi aslinya, sebagai mantra. Jika Chairil Anwar dianggap sebagai mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri. Kemampuan Sutardji untuk mengumpulkan sebuah fenomena dalam puisinya sangatlah patut untuk diacungi jempol, beliau tidak sungkan-sungkan menggunakan kata-kata yang pada masanya atau bahkan sampai sekarang masih dianggap tabu, tidak biasa, senonoh, dan sebagainya. Banyak sebagian orang merasa bahwa Sutardji dianggap terlalu berani dalam berkata-kata, dan tidak dipungkiri juga bahwa Sutardji adalah seorang Hedonis, yang apabila dia menuliskan puisinya sambil minum-minuman keras. Puisi Sutardji lebih menonjolkan ke arah bunyi daripada makna, karena beliau berniat mengembalikan kata-kata kepada fungsi aslinya yaitu sebagai mantra.
Mesin Kawin dan Para Peminum adalah salah satu puisi Sutardji dalam kumpulan puisi berjudul O Amuk Kapak, dalam puisi ini terdapat tanda-tanda yang perlu pemaknaan untuk mendapat pemahaman yang lebih terhadap puisi ini. Karena di dalamnya terdapat maksud yang akan disampaikan oleh Sutardji, yang tidak dengan sekali baca maksud itu akan tersampaikan pada pembaca. Untuk itu aka nada lebih pembelajaran tentang tanda-tanda dalam puisi yang memerlukan teori semiotik untuk penelaahan lebih lanjut.
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Ketidaklangsungan Ekspresi pada puisi
1.2.2. Pembacaan Sastra: Heuristik dan Hermeneutik
1.2.3. Matriks, Model, dan Varian
1.2.4. Intertekstualitas dengan suatu teks lain
Soetardji Calzoum Bachri
Lahir,
Riau, 24 Juni 1941
Agama:
Islam
Pendidikan:
FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara
Profesi:
Redaktur, Penyair
Pria kelahiran 24 Juni 1941 ini digelari 'presiden penyair Indonesia'. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979), Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Dia memiliki gaya tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.
Penyair kondang lulusan FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara, ini pada ulang tahun ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6/2008) malam, yang diperingati di Pekanbaru, Riau, mendapat apresiasi dan kejutan.
Karya Tulis:
O (1973),
Amuk (1977),
Amuk (1979),
O Amuk Kapak (1981)
Hujan Menulis Ayam (Kumpulan Cerpen, 2001)
Isyarat (Kumpulan Esai)
Penghargaan:
Kumpulan sajak Amuk (1977), memenagkan hadiah puisi DKJ 1976/ 1977
Hadiah Sastra ASEAN (1979),
Hadiah Seni (1993),
Anugerah Sastra Chairil Anwar dan dianggap sebagai pelopor angkatan 70-an (1998)
Anugerah Akademi Jakarta (2007
PARA PEMINUM
di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereke berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
Puisi “PARA PEMINUM” adalah salah satu karya Sutardji yang bebas dalam menjelaskan maknanya. Kata-kata yang digunakan untuk puisi ini jauh dari kesan mantra, tetapi masih bebas dalam pemilihannya. Sutardji memang terkenal dengan kebebasan dalam pemilihan kata. Bisa dilihat dari karya-karya Sutardji yang sebelumnya. Puisi bercerita tentang suatu perjuangan yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan suatu pencapaian yang diharapkan. Saat mereka hendak mencapainya, ternyata mereka jatuh terpeleset karena ada suatu kendala untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila di analisis menggunakan semiotics of poetry akan diketahui bahwa puisi ini juga memilki ruang lingkup yang berbeda daripada mesin kawin. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan pada bagian selanjutnya.
1.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan ekspresi yaitu suatu bentuk penyampaian suatu bahasa, namun bahasa yang disampaikan berbeda dengan bahasa sehari-hari. Pada ketidaklangsungan ekspresi terdapat tiga kemungkinan yaitu displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning. Pada puisi ini, ketiga kemungkinan tersebut mencoba dihadirkan oleh Sutardji. Pertama adalah displacing of meaning atau penggantian arti. Displacing of meaning dipergunakan untuk mengganti suatu kata sehingga kata-kata tersebut menjadi suatu pengertian tersirat atau dengan kata lain kata-kata yang digunakan bersifat tidak langsung. Contohnya pada kata memetik bulan di puncak. Kata tersebut menggantikan arti yang sesungguhnya yaitu tentang keberhasilan, keberhasilan disini adalah tentang mencapai kenikmatan. Kata memetik bulan hanyalah suatu bentuk kata pengganti akan tetapi maksudnya sama. Kedua, distorting of meaning atau penyimpangan atau perusakan arti. Perusakan arti dapat dilihat pada kalimat mereka oleng tapi mereka bilang –kami takkan karam dalam lautan bulan-. Contoh tersebut menurut kami termasuk kedalam ambiguitas dan nonse. Kata-kata tersebut tidaklah masuk akal. Selain itu ada mereka berhasil memetik bulan. Jika dilihat secara ilmiah,tidak mungkin bulan bisa dipetik. Hal itulah yang membuat kami beranggpan bahwa kata-kata tersebut masuk kedalam distorting of meaning. Ketiga, creating of meaning atau penciptaan arti. Menurut kami contoh penciptaan arti yaitu mereka menyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka. Kami beranggapan bahwa kata-kata tersebut tidak mempunyai arti. Dikarenakan penciptaan arti apabila suatu tanda “keluar” dari tataran linguistik, yang bahkan terlihat tidak mempunyai arti. Puisi dengan judul “Para Peminum” terdapat suatu ketidakgramatikalan. Ketidakgramatikalan berkaitan dengan bahasa yang dipakai, misalnya penggunaan majas. Pada puisi ini majas yang digunakan yaitu hiperbola atau terlalu berlebihan untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Selain itu. Dalam ruang lingkup yang luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra. Hal ini juga ada pada puisi “Para Peminum” yang semua kejadiannya tidaklah kronologis atau berurutan. Hal tersebut yang akan membuat pembaca semakin bingung akan jalannya cerita puisi tersebut.
1.2.2 Pembaca satra ( Heuristik dan Hermeneutik )
Pembaca Heuristik merupakan tahap awal pembaca untuk mengetahui arti. Pada tahap ini pembaca masih belum mengerti maksud puisi. Bisa dikatakan pada tahap ini, hanya sekedar membaca tanpa ingin mengetahui maknanya. Pada tahap Heuristik kami juga belum menemukan makna yang terkandung pada puisi ini, melainkan menemukan arti atau hanya sekilas gambaran mengenai puisi ini. Arti dari puisi ini yaitu suatu proses atau perjuangan untuk memperoleh suatu keberhasilan atau lebih tepatnya kenikmatan. Meskipun untuk memperoleh keberhasilan tersebut menemui berbagai macam kendala. Setelah kami melakukan pembacaan tahap awal, kami melanjutkan pembacaan ke tahap dua atau Hermeneutik. Tahap ini pembaca diharuskan melakukan pembacaan yang lebih serius agar mengetahui makna puisi ini. Dikarenakan pembacaan tahap pertama dan kedua sangatlah berpengaruh. Apabila tahap pertama kita hanya sekedar membaca, berbeda pada tahap kedua yang mengharuskan kita lebih serius dan teliti untuk memahami semua macam makna atau tanda yang terdapat pada puisi “Para Peminum”. Pada tahap inilah makna yang ada pada puisi ini dapat kami ketahui. Puisi ini memiliki suatu makna yakni janganlah mudah putus asa untuk mencapai sebuah impian atau cita-cita meskipun dalam aplikasinya kita sering menjumpai beberapa masalah yang menghadang. Hal ini yang kemudian dianalogikan oleh Sutardji dengan kegiatan yang dilakukan oleh para peminum minuman keras.
1.2.3 Matriks, Model, Varian
Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Hipotesis terdapat di awal yaitu pada bagian di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk. Matriks dalam puisi ini adalah usaha mencapai sebuah keberhasilan, sedangkan modelnya adalah para peminum. Terakhir adalah varian, variannya juga adalah para peminum.
1.2.4 Intertekstualitas
Puisi ini menanamkan makna tentang kegigihan dalam mencapai suatu keberhasilan, tanpa suatu usaha maka pencapaian tidak akan maksimal atau bahkan tidak akan dapat mencapai target tersebut. Puisi ini menginterpretasikan sebuah semboyan yang sudah dikenal sejak dulu Maju Terus Pantang Mundur, semangat untuk mencapai sebuah tujuan meskipun dalam perjalanannya mendapatkan hadangan tertentu. Puisi Para Peminum adalah teks transformasi dari semboyan ini. Makna yang terkandung dalam dua buah teks tersebut mirip dan saling berkesinambungan. Memperlihatkan suatu hubungan yang jelas antara makna semboyan tersebut dengan makna dalam puisi Para Peminum.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Sutardji terkenal dengan pemilhan bahasa yang bebas, jadi dalam penggunaan kata-kata Sutardji cenderung kearah yang sedikit menyimpang dan tidak biasa bagi sebagian besar orang. Sebagaian puisinya terdapat kata-kata yang seharusnya tidak perlu dimunculkan. Akan tetapi, kita tidak pernah tahu maksud penggunaan kata tersebut, dalam kenyataannya pemakaian kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai tanda untuk menjelaskan makna yang diusung oleh Sutardji. Dalam pengkajian puisi Sutardji dengan teori semiotik yang telah kami lakukan, terdapat suatu perbedaan besar sebelum kami mengkajinya dan sesudahnya. Karya Sutardji dianggap sebagai bentuk pemberontakan, dia menawarkan puisi syarat akan amanat dan itu dijelaskan secara terus terang tetapi masih juga terdapat tanda-tanda yang lain, yang menunjukkan bahwa masih terdapat banyak makna dan beragam penafsiran dari sebuah karya..
Saran
Pada saat melakukan penulisan makalah ini, mungkin terdapat berbagai macam kesaalahan dalam hal ejaan,dsb. Maka dari itu, kami mengharap saran maupun kritik yang membangun untuk tulisan kami selanjutnya, sehingga pada masa yang akan datang makalah yang kami buat lebih baik lagi. Kami juga meminta maaf apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan, baik kesalahan penulisan maupun penafsiran. Karena kami juga masih harus banyak belajar dari pengalaman.

Bachri, Sutardji Calzoum, 1981. O Amuk Kapak. Jakarta : Perc. Graffitasi.
http://pluzone.com/puisi/para-peminum-sutardji-calzoum-bachri.html